Sunday, March 2, 2008

The Shoes

SAYA terkesan membaca kisah tentang sepatu di National Geographic (NG) edisi September 2006. Bukan takjub pada keunikan bentuk sepatu dari masa ke masa, melainkan ide dan filosofi sepatu itu sendiri. Judul artikelnya saja sudah merisaukan, dalam arti positif: “Setiap Sepatu menuturkan Kisah”.


Izinkan saya meninjau ulang beberapa kutipan berharga dari artikel yang ditulis oleh Cathy Newman, penulis senior NG, tersebut.

“Sepatu adalah indikator terbaik untuk menunjukkan apa yang sedang dirasakan seseorang,” kata June Swann, ahli sejarah sepatu yang menetap di Northhampton, Inggris. Ada dua hal yang menarik perhatian saya dari kutipan ini.

Pertama, tidak pernah tebersit sedikitpun dalam benak saya untuk mengatakan hal semacam kutipan itu. Buat saya, sepatu ya sepatu. Alas kaki. Dipakai agar kelihatan lebih rapi, atau agar kaki tidak kotor dan kepanasan. Jadi, hanya fungsi teknis yang dipenuhi oleh sebuah sepatu. Mengenai bentuk, desain, atau warna hanya soal selera.

Tapi, di mata June Swann, sepatu lebih dari itu. Mereka melambangkan perasaan pemakainya. Saya belum sampai pada tahap berusaha memahami orang lewat sepatu, dan belum sepenuhnya mengerti kutipan itu, tapi entah kenapa, saya terkesan.

Kedua, ternyata ada ya orang seperti June Swann yang merelakan waktunya yang berharga untuk meneliti: sepatu, hehe.

Tapi, jika dipikir-pikir, mungkin ada benarnya juga jika sepatu melambangkan pemakainya. Setidaknya ini terjadi pada saya. Beberapa teman mengatakan saya memiliki dua karakter yang bertentangan: rumit, sekaligus simpel. Ini jauh sebelum mereka mengetahui sepatu jenis apa yang saya pakai.

Sampai detik ini, saya memakai tipe sepatu bertali, yang bagi banyak orang merepotkan. Tidak pernah sekalipun, seingat saya, saya memakai sepatu tanpa tali. Apakah pilihan tak sadar ini bisa serta-merta menjadi petunjuk bahwa saya orang yang rumit? Silakan bertanya pada June Swann :).

Lalu, di mana sepatu mewakili sifat simpel saya? Yakni pada desain. Terus terang saja, saya tidak terlalu peduli pada desain atau warna. Bagi saya, yang penting nyaman dipakai. Bukankah ini merupakan salah bentuk representasi dari karakter simpel?

Yang juga membuat saya tidak menyesal membaca artikel tersebut ialah perihal Manolo Blahnik. Dia seorang desainer sepatu kelas dunia. Sepatu-sepatunya kerap menjadi perbincangan tokoh-tokoh dalam serial Sex and the City. Madonna bahkan menyebut sepatu Manolo “sama bagus seperti seks, bahkan bertahan lebih lama.”

Kenapa dengan Manolo? Setelah terjadi gempa bumi di Pakistan Oktober 2005 yang menewaskan 73.000 orang, Manolo merasa malu. Kenapa? “Orang-orang sedang sekarat dan saya merancang benda-benda mewah yang tidak berguna,” katanya.

Kadang, saya juga merasa malu seperti Manolo. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk orang lain tapi saya memilih melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri. Hal sama pernah disinggung Arif Budiman di blognya; betapa kita telah banyak membuang banyak waktu, padahal belum sempat berbuat apa-apa.

Jadi, benar kata June Swann: bukankah kita bisa becermin dari segala hal, termasuk sepatu?

No comments: